Menelaah Ancaman dan Pergerakan Takfiri di Indonesia ( Refleksi Munculnya Terorisme dari Ideologi Takfir)

 Oleh : Siti Patma Deli

 Abstrak

Radikalisme berupa terorisme adalah ancaman serius bagi Indonesia. Hal tersebut tercantum dalam UU No. 15 Tahun 2003 tentang pemberantasan terhadap terorisme. Kelompok-kelompok teroris seperti Jemaah Islam (JI) dan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) memiliki peran besar di beberapa kasus terror bom yang tak hanya menewaskan banyak masyarakat sipil, namun juga merusak fasilitas dan memecah integritas. Salah satu mantan teroris di Aceh mengungkapkan, tahapan menjadi teroris adalah terletak pada pola pikir dan membentuk sikap radikal, takfiri, lalu terorisme. Tulisan ini akan membahas terkait takfirisme, -yakni memvonis orang lain sebagai kafir- fenomenanya sebagai ancaman di Indonesia karena memicu perpecahan dan terorisme. Hal tersebut akan ditelaah melalui pendekatan studi literatur dan analisis data sehingga dapat disimpulkan fenomena takfirisme dan ekstremnya hal ini membawa dampak buruk baik bagi negara maupun agama itu sendiri. Sehingga takfiri perlu dicegah.

 

PENDAHULUAN

            Takfiri yakni sebutan untuk seorang muslim yang menuduh muslim lainnya murtad dan kafir. Hal ini rupanya sudah ada sejak dulu. Dengan adanya kelompok khawarij yang pada saat itu keluar dari barisan Ali. Mereka mengkafirkan yang tidak sepaham dengan mereka dan menjadi kelompok yang sangat keras hingga salah satu anggotanya yakni Abdurrahman bin Muljam membunuh Ali bin Abi Thalib pada tanggal 29 Januari di masjid agung kuffa di Irak.

            Tokoh yang dikenal sebagai pengemuka dalam hal takfirisme, Al-Maqdisi, membai kafir manjadi dua, yakni takfir ‘am dan takfir muayyan. Al-Maqdisi bahkan membuat Syarat-syarat sesorang kafir seolah takfiri adalah hal yang perlu dilakukan. Istilah takfiri bahkan tidak digunakan dalam Al-Quran. Meski asal kata ini adalah kafir. 

Dalam perjalanannya Al-Maqdisi yang belajar dari Arab dengan menggunakan buku-buku salafi dan wahabi pada akhirnya mentakfirkan Negara tersebut. Sementara ia mendapat pelajaran dari sana yang amat dipeluknya secara tekstual.

            Kafir berarti menutupi. Yakni seseorang yang menutup dan menolak kebenaran yang ia ketahui. Tetapi tetap menjalankan kesalahan. Maski makna kafir berarti menutupi yang benar dan tetap melakukan kesalahan, orang menilai kafir adalah seseorang yang keluar dari agama.

Di Indonesia takfiri diidentifikasi sebagai ancaman atas perpecahan. Isu ini cukup heboh merebak lalu menjadi urgensi MUI mengadakan siding ijtima’ dan menghasilkan Dhawabit at Takfir. Yakni kriteria pengkafiran yang diselenggarakan pada Juni 2015. MUI menegaskan kafir adalah orang yang menolak dan menentang akan kebenaran Allah yang Rasul sampaikan. Terdapat empat macam kafir, yakni kafir juhud, nifan, mu’anid dan kafir inkar.

Selain itu, pemerintah juga berupaya menghentikan takfiri sebab hal ini akan berbuntut pada kekerasan dan terorisme. Karena saat orang orang menuduh orang lain sebagai kafir, ia akan cenderung memusuhi bahkan mendiskriminasi orang tersebut. Terorisme juga menggunakan takfiri sebgai basis teologisnya. Menurut Alshammari,

Takfir and terrorism go hand in hand. Islamist terrorist commit suicides and public acts of terrorism to promote their ideas and to convey the meaning of their militant ideology. They operate numerous criteria to exclude communities and societies from the muslim world and use this exclusion as the incendiary of violent change.

            Islam yang dipandang sebagai agama terror oleh islamophobia berasal dari internal yang membenturkan fundamental dan Indonesia menjadi sasaran karena mayoritas muslim. Terlebih masih banyak masyarakat yang awam dan fenomena hijran yang dilihat sebagai peluang bagi kelompok yang radikal.

 

PEMBAHASAN

            Takfir merupakan ekstrimisme pendangan yang membagi dunia menjadi dua: ‘kami’ dan ‘mereka’ karena melihat lainnya berbeda. ‘kami’ melakukan pendefinisian sendiri dan menyeleksi ideologi secara sepihak. Orang -orang ini tidak menerima pendapat atau tafsir yang berbeda dari apa yang diyakininya. Bahkan memaknai wahyu secara tekstualis. Sementara wahyu bermakna amat dalam. Contohnya adalah saat mereka menginterpretasi Q.S At Taubah ayat 5

فَإِذَا انْسَلَخَ الْأَشْهُرُ الْحُرُمُ فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ وَخُذُوهُمْ وَاحْصُرُوهُمْ وَاقْعُدُوا لَهُمْ كُلَّ مَرْصَدٍ ۚ فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ فَخَلُّوا سَبِيلَهُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“ apabila telah habis bulan-bulan haram, maka perangilah orang musyrik dimana saja kamu temui, tengkaplah dan kepunglah mereka. Dan awasilah di tempat pengintaian. Jika mereka bertobat dan melaksanakan sholat serta menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka. Sungguh, Allah Maha Pengasih Maha Penyayang”

            Ayat ini diartikan mereka dengan diperbolehkannya membunuh orang-orang kafir. Sementara vonis kekafiran bagi seseorang dilakukan oleh dirinya sendiri. Terdapat hadist yang melarang seseorang untuk menjadi takfiri. Dimana hanya Allah SWT. dan Rasulnya yang memiliki hak untuk itu.

“Siapa saja yang berkata kepada saudaranya (muslim) ‘hai orang kafir’ maka (hukum) kafir itu telah Kembali kepada salah seorang diantara keduanya: jika benar seperti yang ia katakana, dan jika tidak, maka (ucapan itu) Kembali kepada dirinya”

            Pertanyaannya, mengapa kita perlu mengatakan orang lain kafir sementara kita tidak bisa mengukur tingkat keimanan kita sendiri? Kita tidak pernah tahu bagaimana catatan amal kita pada buku malaikat Rokib dan Atit. Juga, apa yang sebenarnya diperebutkan oleh orang-orang takfiri? Apakah itu identitas islam? Apakah mereka tidak sadar kalua takfiri memicu perpecahan? Jadi apa orang-orang takfiri memiliki preferensi negara yang diisi peperangan daripada negara damai dengan toleransi?

            Ya. Mereka tidak sadar, tidak sadar kalua takfiri memivu perpecahan dan menyebabkan peperangan. Mereka tidak sadar kalua gama islam adalah Rahmatan lil alamin. Mereka tidak sadar bahwa ukhuwah merupakan pilar penting. Karena takfir membunuh akal sehat.

            Pada hadist lain dikatakan “mencela seorang muslim lain adalah kefasikan dan memeranginya adalah kekufuran”. Pentingnya ukhuwah juga disebutkan pada hadist “setiap muslim terhadap muslim lainnya adalah haram darahnya, hartanya, dan keturunannya”

            Mahfud MD dalam penjabarannya terkait takfiri menyebutkan bahwa takfiri merupakan salah satu jenis radikal. Pada spekulasinya, ia menyatakan: “berkesimpulan orang lain kafir tidak apa-apa. Namun jangan memusuhi. Jangan mendiskriminasi, mengejek dan memusuhi. Yang seperti itu disebut takfiri”

            Namun tetap saja, menyebut seseorang kafir kafir tidak bisa dengan mudah dilakukan. Seperti dalam Dhawait At Takfir yang dihasilkan MUI pada Sidang Ijtima’ menegaskan bahwa mengatakan seseorang kafir harus diputuskan oleh Lembaga keulamaan dan otorisasi oleh umat dan negara. Namun sejatinya ulama tidak menghukumi pelaku dosa besar dengan dzan atau persangkaan kekafiran. Tapi sebagai bentuk kurangnya iman dan kefasikan. Perbuatan yang dilakukan memang kufur, namun bukan berarti orangnya kafir. Mengingat ini adalah hak Allah dan Rasulnya.

            Faktor yang memunculkan sikap takfiri pada seseorang adalah sempitnya cara pandang keagamaan, fanatisme dan keangkuhan dalam beragama, kurangnya interaksi keagamaan, politisasi agama dan miskin wawasan.

            Takfiri tak hanya dating dari orang-orang cerdas yang mengkritisi pendapat-pendapat menyangkut keagamaan. Yang biasanya terpaku dan mengidealkan agama pada situasi dulu. Namun juga orang awam yang mendapat pengetahuan agama hanya dari satu sumber. Misalnya orang-orang desa. Karakteristik orang desa biasanya fanatic karena tidak open minded. Saat mereka mendengar satu ajaran dari seorang pemuka agama seperti ustad atau kyai, maka itulah yang dijadikannya sebagai acuan. Sehingga, saat menemukan orang lain yang menjalankan ibadah atau melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan acuannya, saat itulah mereka mengklaim orang lain kafir.

            Hatim Al Awni sebagai kritikus terhadap takfiri menyebutkan 2 variabel yang menjadikan vonis kafir tidak valid. Pertama ketidaktahuan. Orang yang terindikasi kekafiran tidak layak dikafirkan jika yang ia tidak tahu bahwa yang dilakukannya merupakan kekafiran. Kedua yakni jika yang dilakukannya berawal dari menafsiran berbeda dari teks wahyu.

            Pola pikir yang tidak open minded ini juga mengakibatkan kecemasan berlebih. Missal saat diberitahu orang wahabi adalah mereka yang memiliki jenggot dan bercelana cingkrang atau syaih adalah mereka yang mengenakan cadar dan berpakaian serba hitam, lalu keduanya dikenalkan sebagai kelompok yang bahaya, maka dalam pandangannya semua orang bercadar dan berjenggot adalah wahabi dan syiah. Berbahaya.

            Prof Dindin Hafiduddin dalam bukunya islam aplikatif menjelaskan beberapa penyakit ukhuwah, yakni pemahaman agama islam tidak komperehensif dan jumud di kalangan kaum muslimin, lalu Ta’asub (fanatisme berleihan) yang merasa sebagai pemilik agama sehingga menuduh yang lain sesat dan kafir, hilang sifat Tasamuh (toleransi), dengki hingga mengakibatkan permusuhan, menolak kebenaran dan nasihat karena merasa paling benar.

            Ironisnya, inilah yang menjadi pergulatan dalam diri seorang teroris. Yudi Zulfahri, seorang mantan teroris menjelaskan kelompok radikal atau terorisme ini muncul disebabkan oleh ketidakmampuannya untuk menyesuaikan diri dengan realitas sekarang. Mereka memahami agama secara monotafsir. Mereka menjadi intoleran dengan memakai satu tafsir dalam pegangannya. Terorisme memiliki bayangan islam pada masa dulu yang menurut mereka ideal. Llau berontak karena bayangannya tidak sesuai.

            Syekh Abdul Nasser pada Kunjungannya ke Indonesia mengingatkan bahwa takfiri memperparah konflik yang terjadi di Negara-negara pecah, seperti Libya, Yaman, Suriah dan Irak. Meski persoalan agama bukan semata-mata penyebab melainkan politik.

 

PENUTUP

            Takfir tidak ada dalam Al Quran meski orang-orang yang melakukannya berkata menggunakan Al Quran sebagai pedoma. Takfiri disebut sebagai ancaman karena buntut dari hal ini dapat menyebabkan perpecahan, peperangan, bahkan terorisme karena saat mengatakan orang lain kafir, mereka otomatis akan mencela hingga melakukan kekerasan.

            Maka kita harusnya menghindari hal tersebut dan Kembali memahami pilar-pilar dalam islam seperti Ukhuwah, Tasamuh, Tawassuth, Taadlu, Tawazun dan sadar kalau islam merupakan agama yang Rahmatan lil ‘Alamin

 

Daftar Pustaka

Widodo, M. Hafidh. 2018. Ideologi Takfiri Muhammad Al Maqdisi: Memahami Hubungan Beragama dan Bernegara Perspektif Maqashid asy-Syariah. Jurnal Living Islam. Vol. 1, No. 2 Yogyakarta

Widya, Bella. 2020. Pemahaman Takfiri Terhadap Kelompok Teror di Indonesia: Studi Komparasi Jamaah Islamiyah dan Jamaah Ansharut Daulah. Jurnal Studi Diplomasi dan Keamanan. Vol. 12 No. 2. Jakarta

Muhdor, Ahmad. 2017. Terorisme dan Asumsi Takfirisme: Telaah Atas Pandangan Kritis Hatim Al-Awni. Jurnal ICMES. Vol. 1 No. 2. Tulungagung

Zaenul Fitri, Agus.2015. Pendidikan Islam Wasathiyah: Melawan Arus Pemikiran Takfiri di Nusantara. Jurnal Kuriositas edisi VIII. Vol. 1 No. 2. Tulungangung

https://jalandamai.net/takfiri-adalah-cermin-negara-islam.html

https://www.kompasiana.com/jon1ali/54f33e257455137f2b6c6d6f/sejarah-singkat-takfiri-dari-dulu-hingga-kini

https://republika.co.id/berita/nnk9071/lenyepaneun-takfiri-dan-kesejarahannya

https://aceh.tribunnews.com/2016/08/12/takfiri-keangkuhan-dalam-beragama

https://news.detik.com/berita/d-4774108/eks-teroris-aceh-bicara-tahapan-orang-jadi-teroris-radikal-takfiri-teror

https://aceh.tribunnews.com/2016/08/12/takfiri-keangkuhan-dalam-beragama.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi buku Psikologi Perkembangan Anak Usia Dini (Raudhatul Athfal)

Portofolio Jurnalisme Dakwah

Struktur radio,konsep dan berita